Pers dan Lika-Likunya di Indonesia
by : Bernard Prima

           Tepat hari ini, seluruh pegiat pers di Indonesia merayakan Hari Pers Nasional (HPN) yang ke-35. Perayaan Peringatan HPN tahun ini digelar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan sejak tanggal 7 Februari 2020 dan berakhir hari ini, bertepatan dengan Hari Pers Nasional. HPN 2020 mengangkat tema “Pers Menggelorakan Kalimantan Selatan sebagai Gerbang Ibukota Negara”.

           Berbagai tokoh penting turut meramaikan perayaan ini, tak terkecuali orang nomor satu di Indonesia saat ini, Presiden Joko Widodo. Dalam sambutannya, beliau menekankan pentingnya pers dalam menjaga kondusivitas bangsa. "Peran pers diharapkan tidak menambah kepanikan. Negara sangat membutuhkan (pers) dalam perspektif yang jernih," ungkapnya.

           Peringatan Hari Pers Nasional setiap tanggal 9 Februari tak terlepas dari peran Presiden Soeharto sebagai reaksi atas permintaan sejumlah jurnalis yang menginginkan diadakannya hari peringatan terhadap pers. Keinginan tersebut akhirnya didengar dan dikabulkan oleh Presiden Soeharto melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985. Penetapan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional didasarkan pada tanggal berdirinya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yaitu 9 Februari 1946.

           Perlu dicatat bahwa PWI merupakan satu-satunya organisasi jurnalis yang dianggap sah dan dianakemaskan oleh rezim orde baru. Hal inilah yang menyebabkan perdebatan panas selama beberapa tahun terakhir. HPN sendiri menggunakan rujukan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers yang saat ini sudah tidak berlaku lagi setelah munculnya Undang Undang Nomor 40 tahun 1999. Belum lagi perayaannya yang memakan dana APBN dan APBD cukup besar.

Bermula sejak zaman VOC

           Beranjak sejenak dari polemik ini, sejarah pers di Indonesia juga tak kalah menarik untuk dibahas. Pers di Indonesia dimulai oleh munculnya surat kabar bernama "Memorie der Nouvelles" pada 1615 atas prakarsa J.P. Coen, Gubernur Jenderal VOC kala itu. "Memorie der Nouvelles" merupakan surat yang ditulis tangan berisi berita ringkas kegiatan perdagangan serta kedatangan dan keberangkatan kapal-kapal niaga, baik di Batavia maupun di berbagai factorijen, pos-pos perdagangan Belanda. Surat kabar ini diedarkan secara terbatas di kalangan pejabat dan pegawai kompeni. Nantinya, surat kabar ini pula yang menjadi surat kabar pertama di Hindia Belanda yang diberedel karena dikhawatirkan koran itu akan membuka informasi yang bersifat “rahasia”.

           Munculnya kesadaran akan pentingnya pers bagi kalangan bumiputera mulai muncul melalui terbitnya berbagai surat kabar berbahasa Melayu dan Jawa seperti "Bintang Timoer" di Surabaya dan “Pembrita Betawi” di Batavia, meskipun para redakturnya masih orang-orang Belanda. Peran bumiputera pada pers di Indonesia baru terlaksana secara masif pada awal abad ke-20. Pada 1907, terbit "Medan Prijaji" di Bandung ditengarai sebagai pelopor pers nasional karena diterbitkan oleh pengusaha pribumi untuk pertama kalinya yaitu Tirto Adhi Soerjo, seorang yang kelak dikenang sebagai Bapak Pers Nasional.

           Pada masa kemerdekaan Indonesia, pers merupakan salah satu hal yang dengan gigih diperjuangkan. Penyebaran berita mengenai proklamasi kemerdekaan Indonesia sendiri dapat berjalan dengan bantuan pers melalui pemberitaan yang gencar melalui radio dan surat kabar. Rangkaian nasionalisasi dan perebutan perusahaan media kala itu menjadi salah satu bentuk perjuangan yang lazim terjadi. Kebebasan pers terus berlangsung selama masa awal kemerdekaan hingga masa demokrasi liberal. Pada era demokrasi liberal, partai politik turut mengambil andil yang besar terhadap perkembangan pers di Indonesia, misalnya PNI dengan surat kabar “Suluh Indonesia”.

Pembatasan ruang gerak pers di Indonesia

           Euforia akan kebebasan pers perlahan menurun dengan dimulainya masa demokrasi terpimpin. Pada era ini, mulai muncul beragam peraturan pada masa ini mulai membatasi kebebasan pers. Persyaratan untuk mendapat Surat Izin Terbit dan Surat Izin Cetak pun semakin diperketat. Pers pada era ini tak lebih dari sekadar alat bantu pemerintah dalam menyebarkan manifesto politik Soekarno. Pada masa ini, pemberedelan mulai dilakukan oleh rezim yang berkuasa. Harian umum Indonesia Raya merupakan satu dari sekian banyak media massa yang diberedel semasa demokrasi terpimpin.

           Pers semakin kehilangan taringnya pada rezim orde baru. Rezim yang semula diyakini dapat membawa harapan bagi perkembangan dari segala aspek di Indonesia, ternyata tak mengindahkan aspek kebebasan pers. Bagi Soeharto, pers tak lebih dari sekadar badan politik yang harus dikendalikan layaknya partai politik dan organisasi massa. Perizinan untuk penyelenggaraan pers pun semakin dipersulit. Setiap perusahaan harus memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) setelah memenuhi 16 syarat yang terbilang ketat.

           SIUPP bisa dikatakan sebagai senjata ampuh bagi orde baru dalam membungkam pers yang kelewat “nakal”. Perilaku represif dari pemerintah tersebut semakin tak terelakkan. Kasus pemberedelan Tempo, Detik, dan Editor pada 1994 merupakan bukti sejarah atas kesewenangan rezim orde baru atas penyelenggaraan pers. Belum lagi kasus pembunuhan Udin, wartawan Bernas, yang ramai dikaitkan dengan berita-berita kritis yang ia buat. Hingga kini, kasus pembunuhan ini belum menemui titik terang. Dalam kasus ini, ditemukan banyaknya keganjilan. Salah satunya adalah ditangkapnya Iwik, “pelaku pembunuhan”, yang nyatanya hanyalah tumbal kepolisian.

Masa reformasi, era kebangkitan kebebasan pers di Indonesia

           Pada masa ini, kebebasan pers mulai menemukan titik terang. Paling tidak, pegiat pers sudah dapat bernapas lega semenjak munculnya instrumen hukum yang melindungi kebebasan pers. Salah satunya adalah UU no. 40 tahun 1999 tentang Pers. Melalui UU tersebut, pers tidak lagi dikontrol secara penuh oleh pemerintah. Pers mendapatkan kebebasan meski tetap harus dibarengi dengan tanggung jawab pada khalayak. Setidaknya itulah yang tertulis di atas kertas walau nyatanya masih banyak kriminalisasi terhadap wartawan maupun media massa.

           Dengan kebebasan pers yang sudah dijamin menurut UU, terjadi peningkatan jumlah media massa yang membludak. Sayangnya, peningkatan secara kuantitatif tersebut masih belum sejalan dengan peningkatan secara kualitas. Sampai saat ini, masih marak terdapat berita hoax dan berita sensasional lainnya yang berseliweran di media massa. Hal ini diyakini sebagai akibat dari pegiat pers yang tak lagi bergulat dengan pemerintah, melainkan dengan pasar.

           Pada akhirnya, kebebasan pers haruslah dibarengi dengan adanya tanggung jawab. Seluruh insan pers mestinya mulai berbenah dan memanfaatkan kebebasan pers dengan sebijak-bijaknya. Akhir kata, selamat Hari Pers Nasional!